Oleh : Prof. Dr. Elfindri, SE. MA (dir. SDGs Center Unand)
Bukittinggi-Menjamurnya bisnis kuliner merupakan pertanda sebuah shifting dalam dunia konsumsi.
Baca juga:
Gamawan Fauzi: Semua Ada Akhirnya
|
Pergeseran pertama akibat pandemi yang membuat kecendrungan semakin terbiasanya masyarakat dengan kesadaran lingkungan dan kebersihan.
Kedua sebagai kenaikan dari munculnya kelompok baru berpenghasilan menengah dan terdidik. Mereka sebagian memiliki kebiasaan untuk berbelanja cepat dan mudah memperoleh layanan.
Ketiga pergeseran selera, dimana konsumsi semula memasak sendiri di rumah, kemudian beralih semakin menyukai masakan jadi yang tersedia di restoran dan cafe-cafe. Alasan waktu dan harga bisa menjadi pertimbangan.
Keempat semakin tersedianya teknology pelayanan cepat saji, dengan bantuan IT, mudah mengantar pesanan yang juga bisa berbiaya murah.
Baca juga:
Tony Rosyid: Kudeta Airlangga, Berhasilkah?
|
Kelima revolusi model restoran dari umumnya permanen alias menetap, kepada jenis pedagang asongan bergerak, tenda tenda serta mobilized.
Tidak jarang jenis yang dijajakan berupa fast food, atau sebaliknya makanan tradisional "slowfood".
Penataan berbintang
Restoran dan cafe cafe baiknya di kelompokkan jenis restoran atau cafe.
Untuk restoran berupa
Ŕestoran Utama
Cafee dan Minuman
Lainnya
Masing-masing kelompok dibuat kriteria tentang fasilitas/kebersihan/lokasi dsb.
Kemudian dalam skala 3 tahun dilakukan assessment dan beri bintang berdasarkan nilai setiap penilaian. Bisa rasa, tampilan dan kebersihan.
Dengan begitu mereka bersaing untuk meningkatkan kualitas pelayanan.
Saya teringat sewaktu tahun 2015 ke kota York di UK, kota tourist. Ketika berbelanja di toko 'fish and chips' saya melihat di pintu masuk tanda akreditasi berupa bintang 4.
Saya bertanya kepada mereka yang berjualan, ternyata kriteria yang mereka harus penuhi untuk dapat bintang 4 adalah rasa, tampilan, kebersihan, harga dan pelayanan.
Dengan demikian waktu untuk pemerintah daerah lakukan penataan saat masing masing kota dan kabupaten ingin raup banyak wisatawan.
Tidak terkecuali di kota Bukittinggi, kota yang padat pendatang yang mendambakan kuliner yang enak sekali, didukung dengan fasilitas yang terkelola.
Parkir dengan sendirinya akan terkelola, pemasukan dari Pajak Pembangunan I juga akan semakin tinggi masuk ke pemerintah daerah. Ini baru maju jadinya.(*).